Notification

×

Iklan

Iklan

Restorative Justice Memiliki Potensi Besar Memperbaiki Sistem Peradilan di Indonesia

Kamis, 14 November 2024 | November 14, 2024 WIB Last Updated 2024-11-14T11:11:56Z
Etmon Oba, S.H, Alumni Fakultas Hukum Undana 
Kupang | Detik Sarai - Keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ), merupakan pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang lebih menitikberatkan pada pemulihan hubungan yang rusak akibat tindak pidana, bukan sekadar memberikan hukuman kepada pelaku.


Pendekatan ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik dengan melibatkan semua pihak yang terdampak, yakni korban, pelaku, dan masyarakat, sehingga tercapai penyelesaian yang adil dan pemulihan bersama. Konsep ini semakin mendapat perhatian di Indonesia seiring dengan berkembangnya pemikiran bahwa sistem peradilan yang represif tidak selalu memberikan hasil yang efektif bagi korban maupun pelaku.


Dalam penerapannya di Indonesia, keadilan restoratif dianggap mampu mereduksi stigma pada pelaku serta memberikan kesempatan bagi korban untuk berperan aktif dalam proses hukum, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, dan memberikan jalan keluar yang damai bagi semua pihak.


Landasan utama keadilan restoratif adalah pemulihan atau reparasi terhadap kerugian yang dialami oleh korban dan masyarakat. Berbeda dari sistem keadilan retributif yang berfokus pada hukuman terhadap pelaku, keadilan restoratif mencoba menyeimbangkan kebutuhan dan kepentingan antara korban dan pelaku. 


Dalam hal ini, pelaku tidak sekadar dihukum melainkan diberikan kesempatan untuk bertanggung jawab dan berperan aktif dalam memperbaiki akibat dari tindakannya. Prinsip ini memiliki keterkaitan dengan filosofi dasar keadilan dalam hukum pidana Indonesia yang secara historis sangat dipengaruhi oleh budaya gotong royong dan musyawarah yang bersifat kolektif. Keadilan restoratif bertujuan agar pelaku menyadari kesalahan, mendapatkan peluang untuk berbenah, dan kembali diterima oleh masyarakat.

Pendekatan keadilan restoratif memiliki dasar filosofis yang kuat, yang menekankan pemulihan dan rekonsiliasi, bukan pembalasan. Konsep ini dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip Pancasila, terutama sila kedua dan kelima yang berbicara tentang kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan ini memandang setiap orang sebagai bagian dari masyarakat yang perlu diberi kesempatan kedua serta mempertimbangkan pentingnya pemulihan bagi korban. 


Di samping itu, keadilan restoratif juga sesuai dengan asas musyawarah mufakat dalam budaya Indonesia, yang lebih mengutamakan penyelesaian konflik secara damai dan kolektif.


Dalam konteks hukum pidana, keadilan restoratif sering diterapkan pada tindak pidana ringan, terutama yang melibatkan pelaku remaja, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari stigma pidana pada pelaku. Dalam peraturan di Indonesia, penerapan keadilan restoratif telah diakomodasi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) No. 11 Tahun 2012, yang membuka peluang bagi pelaku anak untuk menyelesaikan masalah hukum melalui pendekatan non-penal. 


Pendekatan ini melibatkan proses mediasi atau penyelesaian perkara di luar pengadilan antara anak sebagai pelaku, korban, dan masyarakat. Konsep keadilan restoratif dalam kasus anak ini bertujuan untuk menghindarkan anak dari dampak negatif yang bisa timbul akibat label “kriminal” serta mengurangi risiko anak mengulangi tindak pidana di masa mendatang.


Selain UU SPPA, Polri melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana juga mengakomodasi penggunaan pendekatan keadilan restoratif, terutama untuk kasus-kasus ringan seperti pencurian kecil, penganiayaan ringan, dan perselisihan kecil. 


Proses mediasi dapat dilakukan di tingkat penyidikan, di mana polisi memiliki kewenangan untuk memfasilitasi perdamaian antara korban dan pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan restoratif telah diintegrasikan dalam berbagai tahap sistem peradilan pidana di Indonesia dan tidak hanya terbatas pada tahapan pengadilan, tetapi juga dapat dilakukan pada proses awal penyelidikan.


Namun, penerapan keadilan restoratif di Indonesia tidak selalu berjalan mulus dan menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah belum adanya panduan atau aturan hukum yang komprehensif dan seragam mengenai pelaksanaan keadilan restoratif di Indonesia. Peraturan yang ada hanya terbatas pada kasus-kasus tertentu dan sifatnya lebih kepada pedoman bagi aparat penegak hukum, bukan sebagai suatu kebijakan nasional. 


Selain itu, pemahaman dan kapasitas aparat penegak hukum dalam melaksanakan keadilan restoratif juga masih terbatas. Banyak aparat hukum yang masih cenderung berpikir secara retributif, yaitu memberikan hukuman setimpal atas kejahatan, sehingga pendekatan restoratif kurang menjadi prioritas dalam menangani kasus pidana.


Di sisi lain, keadilan restoratif juga membutuhkan partisipasi aktif dari korban, yang tidak selalu mudah dicapai karena faktor emosional, psikologis, atau ketidakpercayaan terhadap sistem hukum. Dalam beberapa kasus, korban mungkin merasa bahwa pelaku harus dihukum seberat-beratnya, sehingga proses mediasi dan rekonsiliasi sulit dilaksanakan.


Oleh karena itu, pelaksanaan keadilan restoratif membutuhkan keterampilan khusus dalam menangani emosi dan membangun kepercayaan antara korban dan pelaku. Dalam konteks ini, fasilitator atau mediator yang terlibat harus memiliki pemahaman yang baik tentang keadilan restoratif dan memiliki kemampuan untuk menjembatani komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat.


Secara normatif, keadilan restoratif di Indonesia juga terkendala oleh adanya pandangan bahwa penerapan hukuman keras terhadap pelaku kejahatan adalah cara terbaik untuk menegakkan hukum dan memberikan efek jera. Anggapan ini seringkali menghambat pengembangan pendekatan restoratif sebagai bagian dari sistem peradilan. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pemulihan bagi korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat, pandangan terhadap pendekatan restoratif ini mulai berubah. 


Pemerintah dan lembaga penegak hukum di Indonesia mulai menyadari bahwa pendekatan represif yang berfokus pada penghukuman bukanlah satu-satunya solusi yang efektif dalam jangka panjang, dan bahwa ada manfaat besar dari keadilan restoratif dalam hal mengurangi tingkat residivisme atau pengulangan tindak pidana.


Sebagai salah satu upaya pengembangan keadilan restoratif di Indonesia, program-program seperti pemberdayaan korban dan pelaku, pendampingan psikologis, serta pendidikan di masyarakat mengenai keadilan restoratif mulai diperkenalkan. Edukasi dan sosialisasi ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai konsep keadilan restoratif serta manfaatnya dalam memulihkan hubungan sosial yang terganggu oleh tindak pidana.


Upaya ini penting agar masyarakat dapat lebih menerima dan mendukung proses pemulihan daripada hanya fokus pada penghukuman.


Dalam implementasi keadilan restoratif, penting untuk mengutamakan kebutuhan dan kepentingan korban sebagai pihak yang paling dirugikan, namun tanpa mengabaikan hak-hak pelaku untuk mendapatkan perlakuan adil. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan sosial yang telah lama dijunjung tinggi dalam budaya dan hukum Indonesia. Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif di Indonesia perlu terus didorong dan diperluas, dengan memadukan nilai-nilai tradisional dan sistem hukum modern yang lebih inklusif dan berorientasi pada pemulihan.


Penerapan keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia menawarkan alternatif yang lebih manusiawi dan berkelanjutan dalam menangani tindak pidana. Dengan melibatkan semua pihak dalam proses pemulihan, pendekatan ini mampu memberikan solusi yang lebih konstruktif, mengurangi risiko residivisme, dan memfasilitasi reintegrasi sosial bagi pelaku. 

Meskipun masih menghadapi banyak tantangan, seperti keterbatasan regulasi, kapasitas aparat, dan kesiapan masyarakat, keadilan restoratif memiliki potensi besar untuk memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia, menjadikannya lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang merupakan dasar dari hukum Indonesia.


Red/AH