Notification

×

Iklan

Iklan

Kuasa Hukum Korban Pelecehan di BTN Kolhua, Mengumpulkan Bukti Pencemaran Nama Baik Oleh Pelaku YGF

Jumat, 12 Agustus 2022 | Agustus 12, 2022 WIB Last Updated 2022-11-17T03:03:40Z

DetikSarai, Kupang, - Tim Kuasa Hukum dari NND (23) dan DMD (23) Korban kejahatan Pelecehan Seksual di Blok Z, Kompleks Perumahan BTN Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang sementara mengumpulkan bukti-bukti pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pelaku YGF bersama komplotannya di Media Sosial (Medsos) Facebook.


Hal itu ditegaskan secara langsung oleh Widyawati Singgih, SH.,M.Hum, selaku pengacara kedua korban yang ditunjuk oleh LBH Surya NTT, Pada Jumat, (12/08/2022), di ruang kerjanya.


Sebagaimana diberitakan sebelumnya bahwa pelaku YGF bersama komplotannya diduga telah dengan sengaja melakukan pencemaran nama baik terhadap korban, saksi, dan keluarga saksi korban dengan menyerang area privasi guna memberikan tekanan secara psikologis sehingga korban maupun para saksi tidak melanjutkan upaya hukum terhadap YGF pelaku remas pantat.


Menurut Widyawati Singgih saat ini pihaknya sedang mengumpulkan bukti-bukti terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap kliennya yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan Akun Palsu dan beberapa orang Admin di Grup Medsos tersebut yang secara masif memposting video maupun gambar korban.


"NND adalah korban pelecehan seksual bukan pelaku kejahatan, kok tiba-tiba foto dan video korban diambil, di posting di media sosial tanpa ijin.  Untuk itu saat ini, kami sedang mengumpulkan bukti untuk ditindak lanjuti secara hukum akan hal yang dialami klien kami terkait pencemaran nama baik," Bebernya


Masih Menurut Widyawati bahwa, "Perbuatan menyebarluaskan data pribadi seseorang tanpa izin melanggar Undang-Undang Pasal 32 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang ITE. Aturan itu menyebutkan larangan untuk memindahkan data pribadi orang lain tanpa hak dan tanpa izin. Jika pelaku penyebar melakukannya dengan sengaja dan tanpa izin dapat dijerat dengan hukuman penjara minimal 2 tahun," Tandasnya.


Dilanjutkan olehnya bahwa, "Perbuatan penyebarluasan foto melalui media sosial maupun media lainnya telah diatur baik melalui UU ITE maupun UU Hak Cipta. Undang-Undang hak Cipta, semua orang berhak memiliki privasi, kecuali mereka membagikannya sendiri ke media sosial. Jadi, Anda tidak berhak membagikan foto orang lain ke media sosial tanpa izinnya." Tegas Widyawati.


Dirinya juga mengaku telah berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pemerhati dan Perjuangan Hak-Hak Perempuan dan Anak (Forkom P2HPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mendampingi korban dan saksi. 


Forkom P2HPA Provinsi NTT sendiri selama ini dikenal sebagai satu-satunya organisasi perempuan yang dikenal sangat keras dalam memperjuangkan hak-hak wanita.


Widyawati dalam pandangan hukumnya menjelaskan bahwa pelecehan seksual dalam UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPSK)  adalah pelecehan jenis kelamin, perilaku cabul atau menggoda, pemaksaan seksual, mengajak berhubungan intim dengan menjanjikan imbalan sehingga menyinggung perasaan, serta sentuhan fisik yang disengaja dengan tujuan seksualitas tanpa persetujuan.


Sementara kejadian di BTN, Pada Sabtu 16 Juli 2022 lalu, sesuai pengaduan dari korban yang dialami oleh NND dan DMD atas dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku YGF termasuk sentuhan fisik yang disengaja dengan tujuan seksualitas tanpa persetujuan klien kami sehingga kami berharap agar penyidik Polsek Maulafa yang menangani perkara tersebut dapat menerapkan Undang-Undang ini bertujuan untuk, mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; melaksanakan penegakan hukum dan  merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidak berulang kekerasan seksual,


"Kekerasan seksual yang dialami korban adalah kekerasan seksual fisik, maka pelakunya diancam dengan pasal pidana kekerasan seksual pada Pasal 6 Huruf A dan huruf B UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPSK) dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 300 juta rupiah." Pungkasnya.


(Liputan/**)